Hilal Tak Terlihat di Sulteng, Penetapan 1 Ramadan Tunggu Sidang Isbat

AYOTAU, PALU– Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Tengah bersama BMKG Palu menggelar pemantauan Rukyatul Hilal 1 Ramadan 1446 H di Menara Hilal BMKG, Desa Marana, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Jumat (28/2/2025).

Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Kakanwil Kemenag Sulteng, H. Mohsen, didampingi Kabid Bimas Islam, H. Junaidin, serta pejabat Kemenag lainnya, serta petugas dari BMKG Palu.

Ketua Tim Urais dan Binsyar Kanwil Kemenag Sulteng, Taufik Abdul Azis, menyampaikan bahwa hilal tidak terlihat di wilayah Sulawesi Tengah.

“Dari pemantauan di Desa Marana, hilal berada pada ketinggian 3 derajat dengan elongasi 5,6 derajat. Meskipun ketinggiannya memenuhi syarat MABIMS, elongasi masih kurang dari batas minimal 6,4 derajat, sehingga hilal tidak dapat teramati,” jelas Taufik Abdul Azis.

Hasil pemantauan ini akan dilaporkan ke pusat sebagai bahan pertimbangan dalam Sidang Isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama RI.

Menanggapi hasil rukyatul hilal, Kemenag Sulteng mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menunggu pengumuman resmi dari pemerintah.

“Apapun keputusan Sidang Isbat nanti, baik yang mulai berpuasa pada 1 Maret atau 2 Maret, kita harus tetap menjaga stabilitas dan kerukunan,” ujar Taufik Abdul Azis.

Pakar falaq, Ustaz Syarif, menjelaskan bahwa ijtima atau pertemuan antara Matahari, Bulan, dan Bumi terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 08:44 WITA. Matahari terbenam di Desa Marana pada pukul 18:17 WITA, sedangkan Bulan terbenam pada pukul 18:35 WITA.

Meskipun terdapat selang waktu 18 menit untuk mengamati hilal, elongasi yang masih kurang dari syarat minimal MABIMS membuat kemungkinan perbedaan awal Ramadan semakin besar.

“Kriteria ini hanya terpenuhi di Aceh, di mana tinggi hilal dan elongasinya memenuhi standar. Oleh karena itu, Aceh bisa menjadi wilayah penentu dalam penetapan awal Ramadan tahun ini,” ungkapnya.

Ustaz Syarif juga menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Kementerian Agama memiliki metode berbeda dalam menentukan awal Ramadan.

“NU cenderung mengistikmalkan (menyempurnakan) bulan Syaban menjadi 30 hari jika tidak ada laporan rukyatul hilal yang valid. Sementara itu, Kemenag menggunakan metode hisab dan rukyat sebagai dasar penetapan,” katanya.

Dengan hasil pemantauan yang beragam di berbagai daerah, masyarakat diimbau untuk menunggu keputusan final dari pemerintah dan tetap menyambut Ramadan dengan kebersamaan dan kedamaian. (*/del)

Komentar