AYOTAU, LUWU TIMUR – Di perbukitan hijau Loeha Raya yang dipenuhi aroma khas merica, tersembunyi kisah tentang keberanian, perubahan sikap, dan harapan yang tumbuh perlahan dari tanah sendiri. Di antara rimbun kebun lada, perempuan-perempuan Loeha membangun narasi baru: bukan tentang menolak atau menerima, tapi tentang membuka ruang dialog demi masa depan bersama.
Fatmawati, salah satu warga yang kini menjalankan usaha kuliner lokal, pernah berdiri di garis terdepan penolakan tambang. Namun waktu mengajarkannya satu hal, perubahan tidak selalu datang lewat suara keras, kadang justru lewat ruang bicara yang terbuka.
“Ada waktunya kita berteriak, tapi ada juga waktunya kita duduk bersama. Saya melihat ada itikad baik, khususnya keterlibatan perempuan dan UMKM. Saya ingin anak saya punya lebih banyak pilihan dari yang saya punya dulu,” kata Fatmawati, matanya menerawang ke hamparan kebun miliknya.
Merica telah lama menjadi denyut ekonomi Loeha. Namun seperti diakui Buana, petani sekaligus ibu dua anak, hasil dari kebun kecilnya tak selalu cukup. “Kalau anak sakit, kadang saya harus jual ayam atau pinjam uang. Saya dulu menolak tambang, tapi sekarang saya ingin jadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton,” ujarnya.
Ia tak sendiri. Banyak warga yang dulu vokal menolak kini memilih pendekatan yang lebih kolaboratif. Bukan berarti mereka lupa perjuangan, tapi mereka mulai melihat peluang untuk membentuk masa depan yang tak harus hitam-putih.
Tentu, pertambangan bukan tanpa risiko. Namun warga seperti Fatmawati dan Buana percaya, pembangunan bisa manusiawi jika disertai keadilan dan pemberdayaan. Mulai dari pelatihan UMKM, dukungan untuk pendidikan anak muda, hingga fasilitas sosial seperti posyandu dan sekolah, semua menjadi bagian dari mozaik harapan baru.
“Yang kami butuhkan bukan belas kasihan. Kami ingin kemitraan yang sejajar,” ucap Fatmawati, menegaskan pandangannya.
Loeha Raya hari ini tak lagi sekadar tanah penghasil lada. Ini adalah rumah bagi suara-suara yang ingin tumbuh, bukan dibungkam. Yang ingin didengar, bukan didebat. Dan mungkin, dari tanah ini, kita bisa belajar bahwa keberlanjutan tidak selalu datang dari teknologi canggih atau kebijakan besar, tapi dari keberanian masyarakat lokal untuk membuka hati dan mengulurkan tangan.
“Kami tak ingin memilih antara lada atau tambang, tapi mencari jalan agar keduanya bisa hidup berdampingan,” tutup Buana, menanam harapan di tanah yang telah lama ia cintai. (**)