Satgas PKA Panggil PT Hengjaya Mineralindo, Bahas Tuntutan Warga Morowali

AyoTau, Palu – Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Provinsi Sulawesi Tengah menggelar rapat bersama manajemen PT Hengjaya Mineralindo (PT HM), Jumat (24/10/2025), di Palu. Pertemuan tersebut membahas sejumlah aduan masyarakat dari beberapa desa di Kabupaten Morowali terkait dugaan pelanggaran dalam aktivitas pertambangan nikel perusahaan tersebut.

Rapat dipimpin langsung Ketua Satgas PKA Sulteng Eva Susanti Bande, didampingi Sekretaris Apditya Sutomo, serta dihadiri perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Biro Hukum Setdaprov Sulteng.

Dalam forum itu, Eva Bande menyampaikan keluhan warga dari Desa Laefu, One Ete, Bete-Bete, Tandaoleo, Tangopa, hingga Padabaho di Kecamatan Bungku Pesisir dan Bahodopi. Warga menuntut legalisasi lahan kebun yang telah mereka kuasai selama 27 tahun, namun kini masuk dalam kawasan hutan dan konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Hengjaya.

Selain itu, warga juga meminta ganti rugi atas sekitar 37 hektare tanaman yang rusak, serta mendesak aparat penegak hukum menyelidiki dugaan aktivitas tambang tanpa izin yang dilakukan perusahaan. Tuntutan lain mencakup pengembalian tanah warga, transparansi areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), rekrutmen tenaga kerja lokal, dan keterbukaan program CSR perusahaan.

Sekretaris Satgas PKA, Apditya Sutomo, menegaskan bahwa berdasarkan laporan warga, PT Hengjaya Mineralindo diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Jika lahan garapan masyarakat berada dalam kawasan yang telah diberikan PPKH kepada PT HM, maka harus dilakukan inventarisasi dan verifikasi untuk menentukan batas hak dan memastikan kompensasi yang adil,” ujar Apdi.

Ia menambahkan, apabila masyarakat terbukti telah menguasai lahan secara sah sebelum terbitnya IUP, maka hak mereka harus dihormati. “Hak masyarakat harus diselesaikan melalui mekanisme musyawarah, baik berupa ganti rugi maupun relokasi yang disepakati bersama,” tegasnya.

Dari pihak PT Hengjaya Mineralindo, hadir dua perwakilan Divisi Corporate Social Responsibility (CSR), Rahmat dan Fitrah.
Fitrah mengakui terdapat aktivitas masyarakat berupa kebun tanaman jangka panjang dan pendek di dalam wilayah konsesi perusahaan. Ia menyebut, proses verifikasi dan pembayaran kompensasi dilakukan oleh Tim 16, sebuah tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama.

“Total kompensasi yang telah disalurkan mencapai Rp19 miliar,” ungkap Fitrah.

“Di Desa Bete-Bete sebesar Rp14 miliar untuk 350 penerima, dan di Desa Padabaho sekitar Rp5 miliar. Namun, semua dokumen pembayaran berada di tangan Tim 16.”

Ketua Satgas PKA, Eva Bande, menekankan pentingnya penyusunan rekomendasi yang komprehensif, mencakup aspek sosial, hukum, dan lingkungan. Satgas dan PT HM sepakat melakukan pengecekan serta pengambilan sampel air di beberapa titik mata air dan sungai yang diduga tercemar. Perusahaan juga diwajibkan memvalidasi data pemilik lahan dan tanaman di lima desa terdampak dengan melibatkan masyarakat.

Nilai kompensasi akan dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2016 dan ketentuan teknis Kementerian Pertanian. Jika nilai yang ditetapkan tidak sesuai dengan nilai ekonomi tanaman, maka akan dilakukan peninjauan kembali.

Selain itu, PT Hengjaya diminta menyelesaikan hak-hak masyarakat yang telah menggarap lahan sebelum terbitnya IUP melalui musyawarah yang adil dan terbuka. Satgas juga mendorong perusahaan untuk segera menjalankan program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) bersifat multiyear, guna meningkatkan efektivitas dana CSR. (win)